Emosi

Jam 4 subuh, aku menelpon suami. Memintanya segera pulang ke rumah. Empat hari sudah aku menahan sakit kepala disertai demam dan mual yang tak kunjung membaik. Aku perlu ke dokter, tapi tidak ada yang bisa mengantarku. Untungnya suami sedang tidak dalam perjalanan dinas.

Suami tiba di rumah pukul 10 pagi. Aku berganti pakaian lalu segera meluncur ke rumah sakit terdekat. Setelah konsultasi, dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan darah. Tanpa pikir panjang aku dan suami langsung ke ruangan laboratorium membawa selembar surat pengantar.

Setengah jam menunggu, hasil laborat keluar. Ternyata nilai trombositku dibawah ambang batas normal. Leukosit pun menunjukkan adanya infeksi. Pemeriksaan tiphoid juga positif. Dokter bilang harus rawat inap, tapi aku menolak.

"Besok harus dilakukan pemeriksaan ulang darah, kalau nilai trombosit makin turun harus segera rawat inap," terang dokter. Aku mengiyakan.
Hari itu aku menerima banyak obat dengan harga yang tak murah. Aku janji akan berusaha keras menaikkan nilai trombosit, tekadku. Aku enggan diinfus.
Setelah selesai semua administrasi dan pembayaran, aku pulang. Menuju mobil kulihat raut wajah suamiku yang tak enak. Mulutnya seperti komat kamit, entah apa yang diucap. Selalu begitu kalau mood tidak bagus. Aku biarkan. Aku tahu persis apa yang ia kesalkan.
"Aku butuh makanan enak, biar aku bisa makan banyak," ucapku saat masuk mobil. "Iya, mau apa?" "Nasi padang kayaknya enak," jawabku. Yang diajak bicara hanya diam, sibuk menyiapkan mobil. Mobil mulai jalan menuju warung padang langganan. "Apel. Kamu harus makan apel. Mau gak mau, harus mau!" Ucapnya tiba-tiba. Suamiku tahu persis, aku tidak suka apel. Apel selalu membuat gigiku ngilu ketika dikunyah. "Loh kenapa," jawabku. Aku paham, kalau sudah begini ia akan memulai perdebatan. "Ya kamu cuma mau makan apa yang kamu suka, makanya sakit. Nah, mamam tuh makananmu itu," jawabnya dengan nada menyebalkan. Aku mulai mengerutkan kening. Ucapan macam apa itu. Dimana rasa empatinya. "Ya kan masih banyak buah lain. Kalau mau buah jambu biji merah buat naikin trombosit," aku berusaha tenang. "Gak, pokoknya apel," mulai bersikeras. Aku pun tak terima. Membayangkan mengunyah apel saja sudah buat gigi ngilu apalagi betulan. Aku tidak langsung menjawab. Aku perlu mencari jawaban yang tepat untuk mematahkan kalimatnya. Tapi semakin dipikir emosiku makin memuncak. Aku menarik napas panjang. Kenapa ucapannya tadi membuat dadaku terasa sesak. Menyebalkan sekali percakapan ini. "Gak sekalian aja kamu suruh aku makan tai. Belum pernah tuh aku makan tai," aku mulai ngawur. Hanya itu yang muncul di kepalaku yang makin memanas. "Itu bukan makanan," jawab suamiku. "Apa hubungannya makanan yang aku suka sama sakit? Gak masuk akal," nadaku makin meninggi. Kami berdua sama-sama terdiam beberapa menit. Tapi beberapa menit itu cukup membuat dadaku makin sesak menahan emosi. Napasku tersengal. Air mata berusaha tidak tumpah. Tega sekali sikapnya di saat aku sakit begini. "Emang siapa sih mas yang mau sakit. Aku ga pernah minta," ucapku mulai bergetar. Ah, aku sudah tak tahan.

"Aaaaaargghhh!!" Aku berteriak didalam mobil lalu memukul dashboard. 

"Aku emang penyakitan mas. Iya! Aku kalau gak mikirin dede, aku mau mati aja. Aku minta mati!" Teriakku sambil menunjuk asal. Aku lempar tas jinjing berisi dokumen-dokumen rumah sakit ke bawah dashboard. Aku berteriak seperti orang gila. 

Tangan dan kakiku mulai terasa kebas. Ah lupakan tekadku tadi, sepertinya trombositku malah merosot jauh, badanku lemas seperti melayang sehabis berteriak.

"Aku capek kayak gini!" Kalimat terakhirku sebelum tiba di warung padang. Aku terisak tanpa air mata. Rasanya sesak sekali. Yang diajak bicara hanya diam. Entah apa yang ia pikirkan. Kebas di tangan dan kakiku makin terasa.

Ternyata warung padang langganan kami tutup. Kebetulan bersebelahan dengan toko buah. Suamiku keluar mobil menuju toko buah tersebut. Aku menebak-nebak buah apa yang ia beli. Keterlaluan kalau masih mau memaksaku makan apel.

Ia kembali ke mobil membawa kantung plastik. Tidak terlalu jelas apa isi kantung itu. Ia mengemudikan lagi mobil menuju arah pulang.

"Warung padangnya tutup. Itu buah jambu biji merah nanti dimakan," ucapnya melembut. Aku masih terisak, meredam emosi mendengarnya. Beberapa menit kami sama-sama terdiam. 

"Kamu nyesal ga nikah sama aku. Coba kamu pikir lagi. Aku penyakitan. Kalau kamu gamau repot, yaudah mas mumpung anak masih kecil udahin aja. Aku jauh-jauh pindah kesini, jauh dari orang tua sodara temen semua cuma buat kamu. Cuma kamu yang aku punya disini. Kalau kamu gamau repot yaudah mas, aku gak apa. Udahin aja. Aku udah cukup berusaha buat selalu paham maumu, imbangi kamu. Semua keputusan selalu ada di kamu. Mau udahan, gak apa. Aku butuh orang yang bisa saling mengerti, saling dukung, saling bantu," jelasku panjang sambil terisak. 

Tidak ada jawaban. Sebentar lagi mobil kami tiba di depan rumah. Aku teringat di depan rumah yang selalu ramai pembeli ke toko dan jajanan sebelah rumah. Mana mungkin aku keluar mobil dengan mata sembab begini. Lalu mau jawab apa kalau ibu atau orang rumah lain bertanya kenapa aku menangis. 

Tak lama mobil masuk ke area ramai lalu parkir. Cukup ramai.

"Ke kamar dulu, istirahat. Nanti nasi padangnya aku bawain ke kamar," ucap suamiku sambil mengambil semua barang-barang. Aku masih terdiam. Suamiku menunggu di dekat pintu penumpang.

Akhirnya aku beranikan diri keluar mobil. Selangkah. Dua langkah. Aman. Sepertinya tidak ada yang mempedulikan kami. Badanku terasa sangat lemas. Kebas di tangan dan kaki belum hilang. Aku keluar mobil, berjalan sambil berpegangan lengan suami. Otot kakiku layu.

Perdebatan ini bisa berakibat fatal dengan kondisiku ini jika diteruskan. Untunglah, di saat memanas, selalu ada yang mau mengalah. Semoga usia pernikahan kami hanya maut yang mampu memisahkan.

tachi

Salah satu Odapus yang berprofesi sebagai apoteker

No comments:

link