Aku Odapus ~ part 4

7 April 2021.

Hari itu aku berangkat ke Semarang. Seminggu sebelum keberangkatan, aku mencari tahu informasi mengenai rumah sakit yang terdapat praktek dokter rheumatologi. Aku mendaftar online di salah satu rumah sakit kelas A terbesar disana. Ada dua pilihan paviliun rumah sakit untuk dokter yang aku pilih, yaitu paviliun garuda dan merpati. Saat itu aku belum mengerti perbedaan keduanya, jadi aku hanya memilih asal di paviliun merpati.

Aku ditemani mama mertua dan diantar supir kenalan mama. Mobil sedan hitam yang lebih sering terparkir mulai dipanasi sejak pukul 5.30 pagi tadi. Mas Ali, supir yang akan mengantarku, sibuk memeriksa mesin mobil. Aku duduk di teras rumah mama, sambil menunggu mama yang masih bersiap.

Pukul 6.30 perjalanan pertamaku ke Semarang dimulai. Perjalanan selama 2 jam banyak dihabiskan dengan diam, menikmati suasana jalan. Pemandangan hijau di kiri kanan jalan membuat tenang dari perasaan gelisah. Sesekali mama bercerita mengingat masa kecil anak-anaknya terutama tentang anak sulungnya, suamiku, yang seringkali membuat gemas karena keingintahuannya terhadap hal-hal baru. Aku hanya mendengarkan dan berusaha tertawa geli mendengar tingkahnya.

Aku tiba di rumah sakit hampir pukul 9 pagi. Gedung paviliun merpati berada di bagian belakang area rumah sakit. Aku dan mama menuju meja pendaftaran. Aku diminta mengisi formulir pasien baru kemudian mendapatkan bukti pembayaran, lalu diarahkan ke klinik penyakit dalam untuk mendapatkan nomor antrian.

Aku menerima kertas bertuliskan nomor antrian 43. Di depan ruang dokter, sudah banyak pasien memenuhi lobi. Padatnya pasien dan pengantar yang datang membuat suasana rumah sakit menjadi ramai dan panas. Kursi tunggu yang tersedia tidak cukup banyak, sebagian orang berdiri sembarang tempat. 

3 jam berlalu setelah sempat mencari makan siang dan shalat, akhirnya namaku dipanggil. Di ruangan dokter ada 5 orang didalamnya. Satu dokter muda mengenakan setelan biru tua duduk di depan sebuah layar komputer besar sambil mengetik sesuatu. Di tengah ruangan, duduk seorang dokter wanita dengan kerudung biru sedang berbicara menjelaskan. Di sampingnya berdiri wanita muda mengenakan setelan ungu, sepertinya seorang perawat. Di depan dokter kerudung biru, duduk satu pasien dan kerabatnya sedang di observasi.

Pasien perempuan itu terlihat lebih muda dariku. Dokter memeriksa tangan dan kakinya dengan cara di tekan-tekan. Pasien itu menggeleng tidak merasakan nyeri. Dokter muda di depanku menanyai beberapa pertanyaan terkait gejala yang aku alami, kemudian mencatatnya dalam sebuah rekam medis digital yang sudah terintegrasi dengan sistem rumah sakit.

Tidak lama dokter berkerudung biru selesai dengan pasien perempuan tadi. Ia membaca rekam medisku di layar komputer di depan dokter muda.

"Kakinya kasih bengkak? coba saya lihat," kata dokter berkerudung biru itu. Aku baru tahu panggilannya dokter Hellmi setelah beberapa kali datang konsultasi setelahnya. Dokter kemudian memeriksa pergelangan kakiku kemudian jari tanganku. Ia menekan-nekan beberapa bagian di jari dan pergelangan tangan seperti yang dilakukannya pada pasien perempuan tadi.

"Sakit ndak?," tanyanya. Aku menggeleng.

"Rambutnya rontok?" Kali ini aku mengiyakan.

"Oke. Begini, kalau dari gejala yang mbak rasakan memang ini termasuk gejala autoimun. Nah autoimun itu jenisnya macam-macam jadi kita perlu tahu dulu jenis autoimun mbak ini yang mana. Setelah itu baru kita bisa tahu penanganan apa yang cocok. Saran saya, urus BPJS dulu karena perawatan nantinya ada banyak dan biayanya tidak murah terutama untuk pemeriksaan awal yaitu Tes ANA dan ANA IF yang tidak ditanggung. Satu tesnya bisa mencapai 1,5 juta," terang dokter Hellmi.

Aku diam sejenak.

"Gimana?" tanya dokter lagi. "Ndak perlu khawatir. Autoimun ini memang tidak bisa disembuhkan tapi kalau ditangani sesegera dan sedini mungkin bisa dikontrol dan tidak akan mengganggu aktifitas."

Setelah sedikit percakapan, akhirnya aku memutuskan untuk melakukan saran dokter. Aku keluar ruangan dokter membawa resep untuk ditebus di apotek dan selembar kertas pengantar laboratorium. Walaupun obat yang diberikan tetap sama, setidaknya kali ini rasa penasaranku sudah terjawab. Hari itulah aku di diagnosa mengidap penyakit autoimun yang tidak akan pernah bisa disembuhkan.


to be continued ~

tachi

Salah satu Odapus yang berprofesi sebagai apoteker

No comments:

link