Aku Odapus ~ part 5

Seusai berbincang dengan dokter, aku menuju meja di pojok ruangan mengurus surat pengantar untuk membuat rujukan BPJS. Menanyakan beberapa hal yang harus aku persiapkan sebelum mengurusnya.

Kemudian aku segera menuju apotek yang bahkan ruang tunggunya lebih kecil dibanding ruang tunggu dokter. Pasien dari berbagai poliklinik berkumpul menjadi satu di apotek itu untuk menebus obat. Kursi yang tersedia mungkin hanya bisa menampung 20 orang. Sekeliling dinding ruangan apotek sudah penuh dijejeri pasien dan pengantar yang ikut antri.

Lama sekali nomor antrian berjalan. Pasien yang masuk lebih banyak dibanding yang keluar, membuat ruangan makin penuh sesak. Ah, memang dimanapun problema apotek selalu begini. Aku berdiri sambil memainkan ponsel berusaha melupakan kaki bengkakku yang sudah mulai lelah menopang tubuh.

"Mba yang tadi di ruangan bareng saya kan," tanya seseorang dari sebelahku.

Aku menoleh. Perempuan muda dan kerabatnya yang tadi ku perhatikan saat baru memasuki ruang dokter ternyata sedang memperhatikanku. Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya.

"Autoimun apa mba?" tanyanya kemudian.

"Belum tahu mba, baru pertama kali konsultasi. Mba autoimun juga ya?" terlintas pertanyaan itu setelah mengingat dokter tadi melakukan hal yang sama kepadaku dengan yang dilakukannya pada perempuan muda ini.

"Iya. Untungnya ada BPJS jadi biaya lebih ringan karena banyak biaya pemeriksaan laboratorium tiap bulannya." ucapnya membenarkan penjelasan dokter di dalam ruangan tadi. Aku mengangguk lalu menanyakan gejala yang dirasakan perempuan muda itu.

"Baru ketahuan juga baru-baru ini. Kalau sakit-sakit sendi sebenarnya sudah lama tapi waktu itu gak pernah terpikir autoimun." 

Perempuan itu menoleh ke arah loket pemberian obat. Ternyata namanya baru saja dipanggil. Ia bergegas ke arah loket, menerima obat lalu bergegas mendekati kerabatnya dan pergi meninggalkan ruang apotek. Aku menghela napas kecewa. Padahal banyak hal yang ingin kutanyakan untuk meyakinkan bahwa yang dikatakan dokter benar. Bahwa bukan hanya aku yang menderita penyakit ini.

Terdengar konyol memang. Ingin meyakinkan diri dari orang yang mungkin sama dilemanya denganku. Padahal dokter adalah orang yang sangat kompeten di bidang ini. Hanya saja hatiku seperti belum bisa menerima diagnosa dokter. Berbulan-bulan aku merasakan gejala-gejala aneh di tubuhku, tapi pertemuan singkat dengan dokter tadi mudah sekali ia membuat diagnosa. 

Perdebatan dan pertanyaan terus bergulat di kepalaku hingga seseorang di balik loket pemberian obat memanggil namaku. Aku bergegas menerima obat dan keluar ruangan yang penuh sesak itu. Di luar ada mama mertuaku menunggu.

Mama menyarankan aku untuk ke klinik laboratorium langganan Papa dengan membawa surat pengantar lab dari dokter tadi. Sebelumnya aku memang sudah memastikan kalau di rumah sakit ini tidak ada pemeriksaan yang diminta dokter. Jenis pemeriksaan yang dimaksud pun tidak bisa ditanggung BPJS, jadi akupun mengiyakan. Lebih cepat lebih baik pikirku.

Di klinik aku segera dilayani dengan baik. Sampel darahku diambil cukup banyak. Biayanya pun lumayan mahal untuk dua pemeriksaan yaitu tes ANA profile dan ANA IF, lebih dari tiga juta aku habiskan. Hasil tes akan keluar seminggu lagi. 

Aku pulang dengan perasaan kacau. Entah bagaimana aku harus menjelaskan ini pada keluargaku. Apakah mereka akan mengerti? Bukan hanya soal kondisiku, tapi perasaan yang sebenarnya akupun tidak banyak paham. Banyak ketakutan yang muncul. Ketakutan apa yang akan aku hadapi karena aku akan hidup selamanya dengan penyakit ini. Apakah akhirnya aku bisa hidup berdampingan dengan penyakit ini, atau justru penyakit ini yang akan mengakhiri hidupku?


to be continued ~

tachi

Salah satu Odapus yang berprofesi sebagai apoteker

No comments:

link