Aku Odapus ~ part 6

Lama ku habiskan waktu memandangi langit kamar. Bosan berbaring, berganti duduk di pinggir tempat tidur sambil memandangi lembar bukti pembayaran laboratorium. Acuh dengan jumlah biaya yang cukup besar. Pikiranku ramai tapi justru membuat jiwaku kosong. Berjuta emosi yang muncul seperti terperangkap.

Rasanya semua berkecamuk tapi tak tahu bagaimana meluapkannya. Ingin menyalahkan tapi siapa? Ingin marah tapi pada apa? Saat itulah kurasakan perasaan dimana emosi, sedih dan marah tapi tak punya objek untuk melepaskannya karena yang kusalahkan ada pada diriku. Melekat erat ke seluruh tubuh hingga ke sel terkecilnya. Aku benci diriku.

Butuh waktu 2 hari untuk menggerakkan diri segera mengurus dokumen BPJS. Pagi itu aku mendaftar ke klinik pratama terdekat. Antrian di klinik ini memang selalu panjang. Hingga matahari berada di pucuk langit, aku baru selesai. Surat rujukan ini untuk ke rumah sakit tipe B yang juga dekat rumah. Siang itu aku sudah merasa lelah, jadi aku putuskan untuk dilanjutkan besok.

Esoknya aku mendaftar ke dokter spesialis penyakit dalam di salah satu rumah sakit swasta milik non muslim, sesuai rujukan dari klinik. Jadwal praktek dokter baru mulai jam 12 siang. 

Aku mencari kursi tunggu yang dekat dengan ruangan periksaku. Hampir semua kursi tunggu yang tersedia sudah terisi. Tersisa 3 kursi berderet di tengah-tengah ruangan, aku memilih duduk di tengah. Kemudian mengambil ponsel dan membuka aplikasi game online yang sering kumainkan saat bosan.

Sudah 2 jam lewat waktu dhuhur dokter belum kunjung datang. Selama itu pula aku berkutat dengan ponsel sambil menunggu namaku dipanggil. Aku melihat-lihat sekeliling ruang tunggu yang makin ramai. Kursi tunggu sudah penuh semua, banyak yang tidak kebagian kursi memilih berdiri, sebagian lagi duduk di lantai pojok ruangan.

Di sebelahku seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana. Duduk memeluk tas ransel hitam di pangkuannya sembari melihat sekeliling ruang tunggu. Mungkin ia pikir aku melihat dokternya datang jadi ikut memeriksa. Aku tak sengaja bertemu mata dengan si ibu langsung menyunggingkan senyum di balik masker sambil mengangguk.

"Mba mau ke dokter spesialis penyakit dalam?" Tanya si ibu tiba-tiba. 

"Ah engga bu, saya cuma mau buat surat rujukan," jawabku berusaha ramah setelah terlalu bosan menunggu.

"Mba autoimun ya?" Tanya si ibu kemudian.

Aku menoleh bingung. Bagaimana si ibu bisa tahu.

"Saya juga mau buat rujukan mba. Ke Solo. Sudah 4 tahun terakhir rawat jalan ke Solo tiap bulan karena lupus. Alhamdulillah saya sudah pelan-pelan mulai lepas pengobatan," katanya terlihat sambil tersenyum di balik masker hijau.

"Oh ya. Saya autoimun bu. Mau buat rujukan ke Semarang," aku menjawab terbata. Aku masih mencerna kalimat si ibu tadi. Empat tahun ia hidup berdampingan dengan lupus. Kira-kira selama itu pula kah aku harus bertahan? Atau bisa jadi lebih lama? Tak bisakah beberapa bulan saja?

"Dulu kalau sudah kumat saya benar-benar hanya bisa baringan di kasur mba. Apalagi kalau habis bepergian begini, naik motor, kena sinar matahari langsung kalah. Sekarang tetap harus hindari pemicu tapi efeknya tidak separah dulu," cerita si ibu kemudian terputus ketika namanya dipanggil perawat. Ternyata sudah beberapa menit lalu dokter nya datang.

"Saya duluan mba," si ibu pamit sambil bergegas ke ruang dokter. 

Mataku mengikuti gerak langkah si ibu menuju ruang dokter. Apa yang ibu itu alami selama ini sampai hanya mampu terbaring di tempat tidur? Di satu sisi hatiku merasa sedikit lega, karena aku hanya merasakan gejala sedikit bengkak di kaki. Jadi kupikir kasusku tidak akan membutuhkan waktu lama untuk sembuh.
Tapi hatiku yang lain justru menolak untuk senang terlalu dini. Bisa jadi ini hanya awal gejala sebelum gejala lain yang datang silih berganti.


to be continued ~

tachi

Salah satu Odapus yang berprofesi sebagai apoteker

No comments:

link